Langsung ke konten utama

Gangguan Jiwa dan Kelas Sosial

 

Gangguan Jiwa dan Kelas Sosial
Penelitian Holingshead (Dunham, 1964) bahwa masyarakat kelas sosial rendah diketahui tinggi prevalensi psikotik. Prevalensi neurotik lebih banyak pada kelompok sosial tinggi. Laporan penelitian yang dilakukan Dunham sendiri di tahun yang sama menemukan bahwa skizofrenia banyak dialami oleh kalangan masyarakat kelas bawah atau ke V. Kemudian Notosoedirdjo (1984), melalui penelitiannya di rumah sakit jiwa Surabaya melaporkan bahwa sakit jiwa (skizofrenia) banyak berasal dari keluarga kelas sosial rendah. Sedangkan Markam (2003) menulis masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi lebih banyak terdapat psikoneurosis verbal, sedangkan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah lebih banyak terdapat neurosis fisik.



Nampak bahwa tingkat pendidikan sangat berhubungan dengan kelas sosial dan gangguan jiwa. Orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah lebih berpotensi mengalami gangguan jiwa, sakit jiwa misalnya penyimpangan dalam seksualitas. Contohnya orang mau berhubungan sex, bersenggama atau bersetubuh dengan binatang, misalnya monyet.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permasalahan Anak Usia Sekolah Dasar

Permasalaha Anak Usia Sekolah Dasar Gerakan pembentukan karakter begitu gencar dibicarakan saat ini seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran tentang betapa penting pembentukan karakter. Menurut Stephen R Covey (2004) 90 persen nilai kepemimpinan adalah karakter. Sementara penelitian yang dilakukan di Harvard University menunjukkan 80 %   perilaku seorang pemimpin tergantung pada karakter personal orang tersebut (Warren Benis, dalam Educare Mei 2009). Dalam pembentukkan karakter perlu juga diperhatikan problem atau situasi konkrit yang dialami subjek atau anak didik. Sehingga pembentukan karakter itu bertolak dari permasalah real serta berbasis data. Saat upaya memahami pribadi anak didik kebanyakkan mengunakan teori yang berasal dari dunia barat.   Oleh karena itu, penelitian ini berupaya mengetahui permasalahan yang dialami oleh anak usia sekolah dasar secara kontekstual. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi dalam memahami permasalahan anak usia

Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama

Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama Katolik. Jantje Rasuh Abstrak Generasi muda merupakan tulang punggung Gereja, bangsa dan negara. Eksisnya Gereja akan ditentukan oleh generasi mudanya.   Begitu juga dengan pelayanan pastoral Gereja Katolik yang membutuhkan orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis. Guru agama Katolik berperan penting dalam pewartaan iman Katolik melalui kesaksian hidup, pendidikan dan pengajaran. Kurangnya orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama dan katekis. Penelitian dilakukan pada Sekolah Menengah Atas   Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke. Responden berjumlah 214 orang kelas X sampai XII, terdiri dari 145 siswa SMA Yoanes XXIII dan 69 siswa SMA Yos Sudarso. Pengambilan data dengan metode angket, yaitu angket persepsi terhadap guru agama Katolik dengan nilai reliabilitas Internal

EQUILIBRIUM

EQUILIBRIUM ULAR DAN MERPATI: "Sebab itu, hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Mat 10: 16 Tulisan di atas merupakan bagian dari isi sebuah buku yang berjudul Dipanggil untuk mencinta : Kumpulan Renungan, oleh Anthony de Mello SJ, 1995, Kanisius: Yogyakarta, hal. 54. Tulisan ini dijadikan sebuah Game yang sebenarnya membahas tentang kecerdikan "otak" dan ketulusan.Yang menarik adalah bagaimana menyeimbangkan kedua hal tersebut. Dalam prespektif yang lain namun masih dalam alur logika perbedaan kedua hal tersebut, tulisan ini mencoba membuat keseimbangan (Equilibrium) antara kecerdikan otak yang akan diganti dengan konstruk IQ (Intelligence Quotient ), ketulusan dengan SQ (Spiritual Quotient). Ada berbagai definisi tentang IQ. Berikut definisi tentang IQ dalam tulisan Sunbodo Prabowo dan Th. Dewi Setyorini, tahun 2005. Claparda dan Stern mendefinisikan IQ berupa kemampuan menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi baru atau kondisi