Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan
Guru Agama Katolik.
Jantje Rasuh
Abstrak
Generasi muda merupakan tulang punggung Gereja,
bangsa dan negara. Eksisnya Gereja akan ditentukan oleh generasi mudanya. Begitu juga dengan pelayanan pastoral Gereja
Katolik yang membutuhkan orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis. Guru
agama Katolik berperan penting dalam pewartaan iman Katolik melalui kesaksian
hidup, pendidikan dan pengajaran. Kurangnya orang muda untuk menjadi guru agama
dan katekis menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
mengetahui persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama dan katekis.
Penelitian dilakukan pada Sekolah Menengah Atas
Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke. Responden berjumlah
214 orang kelas X sampai XII, terdiri dari 145 siswa SMA Yoanes XXIII dan 69
siswa SMA Yos Sudarso. Pengambilan data dengan metode angket, yaitu angket
persepsi terhadap guru agama Katolik dengan nilai reliabilitas Internal Consistency
Alfa Cronbach ri = 0,429, dan angket katekis dengan nilai ri = 0,528.
Analisis data menggunakan statistik deskriptif. Hasil perhitungan menunjukkan
subjek umumnya berada pada kategori rata-rata untuk hasil pengukuran angket
katekis dan guru agama. Hal ini berarti sebagian besar responden kurang
berminat menjadi guru agama dan katekis. Namun ada cukup banyak responden yang
berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi, yaitu 63 orang pada angket guru
agama dan 60 orang pada angket katekis. Hal ini mengindikasikan mereka memiliki
kecendrungan untuk berminat menjadi guru agama dan katekis. Dari hasil
penelitian ini perlu adanya pembinaan pada generasi muda dengan perencanaan
strategis agar tersedianya kader untuk berkarya di Gereja dan pemerintahan.
Kata Kunci: Generasi muda, persepsi, guru agama, dan katekis.
PENDAHULUAN
Guru
agama Katolik dan katekis memiliki tugas pokok yang sama yaitu mewartakan iman
kristiani. Guru agama Katolik berada di sekolah tempat karyanya sedangkan katekis
di paroki atau stasi. Namun kenyataannya guru agama Katolik berfungsi ganda
yaitu sebagai guru dan katekis. Hal ini disebabkan karena kurangnya orang muda
Katolik yang mau menjadi katekis dan guru agama Katolik. Situasi seperti ini
dialami oleh Keuskupan Agung Merauke (KAME).
Keuskupan
Agung Merauke berada di tiga kabupaten yaitu, kabupaten Merauke, Mappi dan
Boven Digoel. Data guru agama Katolik tahun 2011 menunjukkan bahwa di kabupaten
Merauke masih kekurangan guru agama Katolik dan banyak guru pendidikan agama
Katolik belum berpendidikan S1. Di bawah ini adalah data guru agama Katolik
tahun 2011 dan jumlah sekolah mulai dari SD, SMP, SMA / SMK, serta data jumlah
siswa menurut agama di kabupaten Merauke.
Tabel 1. Data jumlah sekolah dan guru
Agama Katolik di Kabupaten Merauke
SEKOLAH
|
JUMLAH
SEKOLAH
|
TINGKAT PENDIDIKAN GURU AGAMA
KATOLIK
|
JUMLAH GURU
|
|||||
|
SPG
|
PGAK
|
DII
|
DIII
|
S1
|
S2
|
||
Sekolah
Dasar
|
192
|
2
|
5
|
42
|
2
|
4
|
|
55
|
SMP
|
45
|
|
|
2
|
3
|
9
|
|
14
|
SMA
/ SMK
|
35
|
|
|
1
|
|
8
|
2
|
11
|
Total
|
272
|
2
|
5
|
45
|
5
|
21
|
2
|
80
|
Sumber:
Kementrian Agama Kabupaten Merauke, tahun 2010 &2011.
Tabel 2. Data jumlah siswa SD, SMP, SMA,
SMK di kabupaten Merauke menurut agama.
Sekolah
|
Agama Siswa SD,
SMP. SMA, SMK
|
Jumlah
|
|||||||||||
Islam
|
%
|
Protestant
|
%
|
Katolik
|
%
|
Hindu
|
%
|
Budha
|
%
|
Konghucu
|
%
|
|
|
Sekolah
Dasar
|
12.699
|
37,9
|
5.336
|
15,93
|
15.415
|
46,01
|
39
|
0,12
|
12
|
0,04
|
-
|
|
33.501
|
Sekolah
Menengah Pertama
|
4.586
|
43,48
|
1.927
|
18,23
|
4.000
|
37,83
|
47
|
0,44
|
11
|
0,1
|
-
|
|
10.571
|
Sekolah
Menengah Atas
|
2.277
|
45,09
|
987
|
19,54
|
1.774
|
35,13
|
11
|
0,22
|
-
|
|
-
|
|
5.049
|
Sekolah
Menengah Kejuruan
|
1.523
|
49,72
|
575
|
18,77
|
954
|
31,14
|
8
|
0,26
|
3
|
0,09
|
-
|
|
3.063
|
Jumlah total
|
21.085
|
40,40
|
8.825
|
16,91
|
22.143
|
42,43
|
105
|
0,20
|
26
|
0,05
|
-
|
|
52.184
|
Sumber: Dinas Pendidikan
dan Pengajaran Kabupaten Merauke, tahun 2011/2012
Tabel 3. Jumlah sekolah Katolik di
kabupaten Boven Digoel & kabupaten Mappi.
Sekolah
Katolik Kab. Boven Digoel
|
Jumlah
|
|
Sekolah
Katolik Kab. Mappi
|
Jumlah
|
Sekolah
Dasar
|
35
|
|
Sekolah
Dasar
|
43
|
SMP
|
2
|
|
SMP
|
3
|
SMA
/ SMK
|
1
|
|
SMA
/ SMK
|
|
Total
|
38
|
|
Total
|
46
|
Sumber:
Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Merauke, tahun 2009.
Total
jumlah guru agama Katolik kabupaten Merauke berjumlah 80 orang. Banyaknya guru
agama Katolik tidak sebanding dengan jumlah sekolah sebanyak 272 dengan 22.143 anak didik. Akibatnya ada guru beragama Islam mengajar
mata pelajaran agama Katolik (Dokumen Pertemuan Komisi Kateketik KAME dengan
penghubung komisi di 4 dekanat dan 2 kevikepan, Juli 2011).
Data
jumlah sekolah negri dan swasta serta guru agama Katolik di kabupaten Boven
Digoel dan kabupaten Mappi tidak dapat diperoleh karena jaraknya jauh dan
membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk data jumlah sekolah Katolik di
kabupaten Mappi dan Boven Digoel tersedia karena kedudukan Yayasan Pendidikan
dan Persekolahan Katolik berdomisili di Merauke.
Hasil
pertemuan komisi kateketik KAME dengan para penghubung di Kevikepan dan
Dekanat, di Rumah Bina Jalan Angkasa No.1 Kelapa Lima, Merauke, pada bulan Juli
2011, terungkap bahwa di paroki-paroki belum tersedia katekis yang
sungguh-sungguh menempuh pendidikan khusus sebagai katekis. Pekerjaan katekis
digabung dengan tugas dewan paroki yang tidak mengeyam pendidikan khusus
sebagai katekis. Menurut Kitab Hukum Kanonik, Kan: 785, “Sebaiknya seorang
katekis dididik dalam sekolah-sekolah yang khusus…”
Merujuk
pada permasalahan di atas yaitu, mengapa kurangnya tenaga guru agama Katolik
dan kurangnya minat orang muda menjadi guru agama dan katekis, penelitian ini
dibuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi orang muda terhadap
profesi guru agama Katolik dan katekis.
Manfaat
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi orang muda Katolik
terhadap guru agama Katolik dan katekis. Dengan mengetahui persepsi orang muda Katolik,
hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membangun motivasi orang muda
menjadi rasul awam di KAME dan Gereja Katolik pada umumnya. Orang muda Katolik
sebagai tulang punggung Gereja perlu mendapat pembekalan iman, pengetahuan dan
keterampilan dengan terlebih dahulu mengetahui keadaan diri mereka.
LANDASAN TEORI
Orang Muda Katolik
Batasan
usia orang muda Katolik ialah mereka yang berumur 13-24 tahun (Riberu dalam
Tangdilintin, 2008). Batasan usia orang muda Katolik dimaksud dalam penelitian
ini, mereka yang berusia 16-22 tahun atau usia sekolah lanjutan atas. Subjek
penelitian ialah siswa-siswi kelas X
samapai kelas XII SMA Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke.
Orang
muda Katolik kelas X sampai kelas XII di sekolah lanjutan atas secara psikologis
berada pada tahap perkembangan remaja tengah dan remaja akhir. Pada tahap ini
remaja sedang mencari identitas (Erikson, 1989). Remaja mempertanyakan siapa
dirinya dan mau berkembang kearah mana. Untuk menjawab pertanyaan tentang
dirinya dalam upaya mencari identitas, remaja melakukan peran yang berbeda-beda
di dalam lingkungan ia tinggal. Remaja yang menemukan identitas dirinya akan
menerima dirinya, sedangkan yang tidak menemukan identitas diri akan mengalami
kebingungan identitas (Ekrikson dalam Santrock, 2003).
Selain
itu, remaja memiliki tugas perkembangan mencapai kemandirian, bertanggung jawab
atas perilakunya sendiri dan mempunyai seperangkat nilai sebagai sistem etis
yang menjadi pegangan dalam berperilaku (Hurlock, 1980). Hal ini dimaksudkan
agar remaja dapat menentukan dirinya sendiri ketika dihadapkan pada sebuah pilihan.
Pilihan-pilihan dalam hidup termasuk memilih bidang ilmu dan pekerjaan yang
akan ditekuni nanti.
Katekis
Katekis
adalah orang yang beriman akan Kristus yang bangkit dengan mendidik atau
mengajar iman kristiani kepada orang lain agar mereka memiliki iman yaitu,
mampu menghayati bahwa dalam hidupnya berlangsung karya keselamatan Allah (STP
“IPI Malang”, 2009). Pewartaan akan iman terhadap Kristus yang bangkit melalui
katekese. Katekese berarti memberikan pendidikan dan pengajaran agama terhadap
calon baptis, anak-anak dan masyarakat umum (STP “IPI Malang”, 2009).
Singkatnya katekis adalah guru agama atau orang yang memberikan pengajaran
agama di paroki atau stasi dengan memiliki pendidikan khusus sebagai seorang
katekis.
Selanjutnya
Komisi Kateketik KWI (1997) mengatakan ada dua tipe katekis yaitu: katekis purna waktu dan paruh waktu. Katekis purna waktu
mengabdikan seluruh hidupnya sebagai katekis. Sedangkan katekis paruh waktu ikut
terlibat secara terbatas dalam mengajarkan katekese dengan tulus dan serius.
Selain
itu juga katekis dibedakan menurut jenis tugas atau Job Description untuk katekis yang mempunyai ikatan dengan Congregation for Evangelization of People (Komisi Kateketik KWI 1997). Jenis
tugas dibedakan menjadi katekis dengan tugas khusus mengajarkan katekese,
dan katekis yang bekerjasama dengan berbagai bentuk kerasulan. Pekerjaan
katekis dengan tugas khusus meliputi: pendidikan iman kaum muda dan dewasa,
menyiapkan para calon dan keluarganya untuk menerima sakramen inisiasi dalam Gereja.
Sedangkan katekis yang bekerja dalam berbagai bentuk kerasulan, pekerjaannya
mencakup memberikan katekese pada katekumen dan mereka yang sudah dibabtis,
memimpin doa dan ibadat-ibadat, mengorganisir tugas-tugas paroki, memberikan
pelatihan pada katekis lainnya. Katekis seperti ini ada di paroki-paroki yang memiliki
luas wilayah yang besar.
Guru
Agama Katolik
Guru agama ialah orang
yang mengajar mata pelajaran agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Guru
agama Katolik adalah orang yang sudah dibaptis mengajar agama Katolik di
sekolah formal dan telah menempuh pendidikan formal guru agama. Oleh karena itu,
mengajarkan mata pelajaran agama Katolik tidak dapat dilakukan sembarangan
orang di luar disiplin ilmu yang dimaksud, tetapi orang yang sungguh-sungguh
memahami dan ahli dalam bidangnya sebagai pendidik dan pewarta sabda (Society
Devoted to The Sacred Heart dalam Hamu, 2011).
Persepsi
Orang muda Katolik terhadap katekis dan guru agama Katolik
Menurut Chaplin (1995) persepsi adalah proses mengetahui atau
mengenali objek dan kejadian objektif melalui indra. Lebih jauh lagi Ivancavich
dkk. (2007) menjelaskan persepsi merupakan proses kognitif dimana terjadi aktivitas
memilih, mengorganisasikan, dan memberikan arti terhadap stimulus atau objek.
Hasil dari interpretasi melalui persepsi, memengaruhi sikap dan perilaku. Sikap
berupa respon positif atau negatif terhadap stimulus lingkungan.
Persepsi orang muda
terhadap guru agama Katolik dan katekis terbentuk melalui pengalaman dan
pengetahuan mereka yang memengaruhi sikap dan perilaku. Sebagaimana dijelaskan
oleh Ivancavich dkk. (2007) bahwa persepsi merupakan interpretasi dari objek,
orang lain yang memengaruhi sikap dan perilaku. Pilihan menjadi guru agama
Katolik dan katekis tergantung pada
pengetahuan dan minat karir yang terbentuk melalui persepsi.
Pengembangan karir seseorang
ditentukan oleh salah satu dari tiga hal ini yaitu, tahap-tahap perkembangan
pemilihan karir, konsep diri dan tipe kepribadian (Ginzberg, Super,
Holland dalam Santrock, 2003). Menurut Ginzberg perkembagan karir anak dan
remaja melalui tiga tahap. Tahap pertama ialah tahap fantasi. Pada tingkat ini
anak mengatakan apa saja yang menjadi cita-citanya tanpa memperhitungkan
keadaan dirinya. Tahap ini di mulai masa kanak-kanak sampai usia 11 tahun.
Selanjutnya tahap tentatif, sebuah transisi dari tahap fantasi masa kecil
ke tahap realistis. Keadaan ini di
mulai dari usia 11 tahun sampai 17 tahun. Remaja mulai mengevaluasi minatnya di
usia 11-12 tahun, kemudian mengevaluasi kemampuannya umur 14-15 tahun. Di usia
16-17 tahun remaja mengevaluasi nilai mereka. Melalui masa peralihan itu,
remaja sampai pada pengertian dan pemahaman diri yang realistis. Umur 17-20
tahun remaja menentukan karirnya lebih realistis. Artinya dalam menetukan
karirnya remaja memperhitungkan keadaan dirinya, kemampuannya sehingga
penentuan karir relatif permanen.
Teori Ginzberg berbeda
dengan Super tentang penentuan karir (Santrock, 2003). Menurut Super konsep
diri seseorang memainkan peran utama dalam penentuan karir. Proses penentuan
karir melalui lima fase yaitu: kristalisasi,
spesifikasi, inplementasi, stabilisasi dan konsolidasi. Fase pertama atau kristalisasi di mulai pada usia sekitar
14-18 tahun. Pada tahap ini remaja masih mencampurkan gambaran kerja dengan
kosep dirinya. Saat inilah remaja mulai membangun konsep diri tentang karir. Setelah
itu fase kedua spesifikasi, pemilihan karir mulai mengerucut atau lebih
spesifik. Artinya mengarahkan diri pada bidang kerja tertentu, dimulai pada
usia 18-22 tahun. Fase ketiga usia dewasa awal 22-24 tahun telah menyelesaikan
sekolah atau pelatihan dan memasuki dunia kerja. Karena itu fase ini disebut
fase inplementasi. Usia 25-35 tahun seseorang berada pada fase stabilitas,
karena sudah menentukan karier tertentu. Fase kelima seseorang akan berusaha
memajukan kariernya untuk posisi yang lebih tinggi atau konsolidasi di usia 35
tahun ke atas.
Menurut Holland (dalam Santrock,
2003) tipe kepribadian merupakan variabel penentu karier seseorang. Jika orang
menemukan pekerjaan sesuai dengan tipe kepribadiannya, ia akan bekerja lebih
lama di bidang tersebut ketimbang mereka yang bekerja tidak cocok dengan
kepribadiannya. Ada enam tipe kepribadian yang perlu diperhatikan dalam
menetukan pekerjaan atau karir seseorang. Keenam tipe kepribadian meliputi: realistis, intelektual, sosial,
konvensional, enterprising, dan artistik. Realistik, orang-orang memilki sifat-sifat maskulin yang kuat
dengan cirri-ciri: kuat secara fisik, menyelesaikan masalah secara praktis,
kemampuan sosial rendah. Tipe realistik cocok bekerja sebagai: petani, buruh,
pengemudi bis dan tukang bangunan. Tipe Intelektual
berorientasi pada konseptual dan teoritis. Mereka lebih cocok menjadi pemikir,
konseptor. Oleh karena itu orang demikian menghindari hubungan interpersonal,
dan cocok bekerja yang berhubungan dengan matematika atau keilmuan. Sosial, memiliki sifat feminim
khususnya yang berhubungan dengan verbal dan interpersonal. Tipe ini lebih
cocok berhubungan dengan banyak orang misalnya: mengajar, menjadi pekerja sosial
dan lain-lain. Konvensional, lebih
tertarik pada keteraturan, cocok menjadi sekertaris, pegawai bawahan, teller
bank, atau pekerja administrasi. Enterprising,
memiliki sifat suka menguasai orang lain, mendominasi, negoisasi. Tipe ini
cocok menjadi sales, politikus,
manager.
Selanjutnya tipe artistik, orang yang suka berinteraksi
dengan dunianya sendiri melalui ekspresi seni. Tipe ini memiliki kecendrungan
menghindari situasi interpersonal dan konvensional.
Persepsi membentuk sikap positif atau
negatif terhadap sebuah pilihan, termasuk penentuan karir sebagai guru agama
dan katekis. Sikap positif apabila seseorang mau atau memilih pekerjaan yang ia
inginkan. Sikap negatif ketika individu tidak mau memilih pekerjaan yang
ditawarkan. Kedua sikap tersebut berhubungan dengan persepsi dan tipe
kepribadian.
METODE
PENELITIAN
Jenis
Penelitian
Penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kuantitatif.
Penelitian yang mengambarkan persepsi kaum muda Katolik terhadap guru agama dan
katekis dengan statistik deskriptif.
Subjek
Penelitian
Subjek
penelitian pada penelitian ini adalah siswa-siswi kelas X-XII SMA Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso
Merauke yang berjumlah 214 orang. Mereka berusia antara 16-22 tahun. SMA Yoanes
XXIII siswanya berjumlah 374 orang dan
SMA Yos Sudarso Merauke memiliki jumlah siswa 163 orang (Dinas Pendidikan dan
Pengajaran kabupaten Merauke, 2012). Sampel penelitian terdiri dari 145 siswa SMA Yoanes XXIII dan 69 siswa SMA Yos Sudarso
Merauke.
Sampel
penelitian ditentukan dengan cara memberikan angket pada seluruh siswa yang
hadir pada saat penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan 3 kali menurut
tingkatan kelas dan jurusan di SMA Yoanes XXIII. Pada SMA Yos Sudarso dilakukan
satu kali.
Alat Ukur
Data
dalam penelitian ini diperoleh dengan angket persepsi terhadap guru agama
Katolik dan katekis. Angket disusun dengan menggunakan lima pilihan jawaban.
Setiap jawaban yang diberikan responden diberikan nilai dengan menggunakan
skala Likert. Pembagian angket dilakukan di dua sekolah menengah atas pada saat
jam sekolah. Angket katekis memiliki nilai reliabilitas Internal Consistency
Alfa Cronbach sebesar 0,528 sedangkan angket guru agama Katolik sebesar 0,429.
Aspek yang Diukur
Penelitian
ini berupaya untuk mengetahui jenis cita-cita yang diinginkan responden dan
persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama Katolik dan katekis.
Pengumpulan data jenis cita-cita, dengan cara memberikan pertanyaan pada
respoden tentang cita-cita mereka. Sedangkan pengukuran persepsi, diukur dengan
angket. Angket persepsi dibuat berdasarkan teori persepsi dari Ivancavich dkk. (2007). Secara teoritis
persepsi berarti pengetahuan yang diperoleh dari hasil interpretasi individu
terhadap stimulus atau orang lain, kemudian membentuk sikap dan memengaruhi
perilaku.
Secara
oprasional persepsi menunjuk pada pengetahuan individu tentang guru agama
Katolik dan katekis, kemudian menentukan sikap positif atau negatif terhadap
subjek tersebut dan memengaruhi perilaku. Dalam penelitian ini aspek yang
diukur adalah persepsi yang dijabarkan pada aspek pengetahuan dan sikap. Aspek
pengetahuan mencakup pekerjaan, kepribadian, keadaan ekonomi serta status sosial
dari guru agama Katolik dan katekis. Sedangkan sikap menunjuk pada kemauan
responden untuk menjadi guru agama Katolik atau katekis. Aspek-aspek yang akan diukur itu dijabarkan
dalam 10 pertanyaan angket katekis dan 10 pertanyaan angket guru agama Katolik.
Analisis Data
Analisis
data menggunakan perhitungan statistik deskriptif. Untuk data yang diperoleh
dengan angket menggunakan sistem skoring menurut Likert atau skala interval.
HASIL
PENELITIAN
Di bawah ini adalah
hasil penelitian jenis cita-cita responden dan persepsi responden atau orang
muda Katolik terhadap guru agama Katolik dan katekis.
Tabel
4. Jenis cita-cita responden
NO
|
Jenis
cita-cita responden
|
Jumlah
|
1
|
Dokter
|
36
|
2
|
Polisi
|
33
|
3
|
Perawat
|
19
|
4
|
Guru
|
18
|
5
|
PNS
|
14
|
6
|
Pegawai
|
13
|
7
|
TNI
|
11
|
8
|
Pegawai
Bank
|
6
|
9
|
Pengacara
|
6
|
810
|
Pengusaha
|
5
|
11
|
Bidan
|
5
|
12
|
Guru
agama Katolik
|
4
|
13
|
Guru
Bahasa Inggris
|
4
|
14
|
Lain-lain
|
40
|
Tabel
5. Statistik deskripsi hasil penelitian persepsi terhadap katekis.
Variabel
|
Skor
|
Mean
|
SD
|
||||||||
Teoritis
|
Empiris
|
Teoritis
|
Empiris
|
Teoritis
|
Empiris
|
||||||
|
Mak
|
Min
|
|
Mak
|
Min
|
|
|
|
|
|
|
Guru agama Katolik
|
50
|
10
|
|
46
|
21
|
|
30
|
33,18
|
|
8,33
|
4,50
|
Katekis
|
50
|
10
|
|
43
|
10
|
|
30
|
31,82
|
|
8,33
|
4,76
|
Keterangan:
Minimal :
- Skor teoritis terendah guru agama Katolik = 10, katekis = 10.
- Skor terendah yang
defakto diperoleh subjek, guru agama Katolik = 21,
katekis = 10.
Maksimal :
- Skor teoritis tertinggi guru agama Katolik = 50, katekis = 50
- Skor tertinggi yang
defakto diperoleh subjek, guru agama Katolik = 46,
Katekis = 43.
Mean Teoritis: Rata-rata skor teoritis,
guru agama Katolik = 30, katekis = 30.
Mean Empiris: Rata-rata skor defakto
pada hasil penelitian, guru agama Katolik = 33,18,
Katekis = 31,82.
SD :
Standar deviasi teoritis guru agama Katolik = 8,33, katekis = 8,33.
Stadar deviasi defakto,
guru agama katolik = 4,50, katekis = 4,76.
Kategorisasi
Norma Persepsi Terhadap Guru Agama Katolik Dan Katekis.
Untuk menentukan
kategorisasi norma dalam penelitian ini berdasarkan norma model distribusi
normal Azwar (2003). Dalam penelitian ini menggunakan 5 kategori sebagai
berikut:
Tabel
6: Kategorisasi norma.
Norma
Kategori
|
_
X
< X – 1,5 SD Sangat rendah
_ _
X
– 1,5 SD < X < X- 0,5 SD Rendah
_ _
X
– 0,5 SD < X < X + 0,5 SD Sedang
_ _
X
+ 0,5 SD < X < X + 1,5 SD Tinggi
_
X
+ 1,5 SD < X Sangat tinggi.
Kategorisasi norma berdasarkan patokan
norma di atas.
Tabel
7. Kategorisasi subjek pada angket persepsi guru agama Katolik.
Rentang Nilai (10 -50)
|
Kategori
|
Jumlah Subjek
|
Persen
|
X < 26,43
|
Sangat rendah
|
14
|
6%
|
26, 43 > X ≤ 30,93
|
Rendah
|
47
|
22%
|
30,93 < X ≤ 35,43
|
Sedang
|
90
|
42%
|
35,43 < X ≤ 39,93
|
Tinggi
|
44
|
21%
|
39,93 < X
|
Sangat tinggi
|
19
|
9%
|
Jumlah
|
|
214
|
100%
|
Tabel
8.Kategori subjek pada angket katekis.
Rentang Nilai (10 -50)
|
Kategori
|
Jumlah Subjek
|
Persen
|
X < 24,68
|
Sangat rendah
|
10
|
5%
|
24, 68 > X ≤29,44
|
Rendah
|
60
|
28%
|
29,44 < X ≤ 34,2
|
Sedang
|
84
|
39%
|
34,2 < X ≤ 38,96
|
Tinggi
|
46
|
21%
|
38,96 < X
|
Sangat tinggi
|
14
|
7%
|
Jumlah
|
|
214
|
100%
|
DISKUSI
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi subjek terhadap guru agama Katolik
dan katekis berada pada tingkat sedang.
Dari 214 subjek penelitian terdapat 90 orang yang berada di kategori
sedang untuk persepsi terhadap profesi guru agama Katolik, dan 84 orang
terhadap katekis. Hal ini berarti pada umumnya subjek penelitian bersikap
negatif terhadap pilihan menjadi guru agama dan katekis. Hal ini didukung oleh
data pada tabel 4 tentang jenis cita-cita yang diminati subjek, untuk guru
agama katolik berjumlah 4 orang dari total responden 214 orang, untuk katekis
tidak ada responden yang mau menjadi katekis.
Akan tetapi ada 44
orang berada pada kategori tinggi dan 19 orang sangat tinggi untuk persepsi terhadap
guru agama Katolik, untuk katekis 46 kategori tinggi dan 14 orang sangat tinggi.
Itu berarti ada 63 orang yang memiliki kecendrungan cukup kuat untuk berminat
menjadi guru agama Katolik, dan 60 orang menjadi katekis. Data ini berbeda
dengan apa yang diungkapkan responden pada pertanyaan tentang jenis cita-cita
yang mereka minati (tabel 4). Pada data tabel 4, mengukur jenis cita-cita yang
paling disukai. Perbedaan ini terjadi karena subjek penelitian masih sedang
mencari cita-cita yang tepat dengan dirinya. Sebagaimana yang dikatakan
Ginzberg (dalam Santrock, 2003) bahwa pilihan karier remaja terjadi secara
bertahap. Remaja akan sampai pada pemilihan jenis karier yang diminati melalui
beberapa tahap perkembangan sejalan dengan pertambahan usia, yang dipengaruhi
oleh konsep dirinya (Super, dalam Santrock, 2003).
Untuk subjek yang
termasuk pada kategori tinggi dan sangat tinggi memiliki kecendrungan yang cukup
kuat untuk menjadi guru agama Katolik dan katekis. Hal ini dapat didukung
dengan pembinaan iman yang terprogram secara strategis. Melalui perencanaan
strategis tentang pembinaan generasi muda, akan tersedianya kader awam di
berbagai bidang yang dapat bekerja di pemerintahan maupun di Gereja Katolik
(Tangdilitin, 2008). Oleh karena itu, pembinaan yang terprogram akan membantu
orang muda dalam proses penemuan jati diri, panggilan hidup dan jenis pekerjaan
yang cocok untuk dirinya. Mengingat untuk menjadi guru agama dan katekis bukan
sembarang orang, tetapi mereka yang sungguh-sungguh paham sebagai pandidik dan pewarta sabda (Society
Devoted to The Sacred Heart dalam Hamu, 2011).
Aspek lain yang perlu
diperhatikan adalah faktor kepribadian. Menurut Holland (dalam Santrock, 2003)
faktor kepribadian sangat menentukan karier atau bidang yang diminati untuk
bekerja lebih lama. Oleh karena itu, tipe kepribadian orang muda perlu dikenali
karena tidak semua subjek yang berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi
pada hasil penelitan ini memiliki kepribadian cocok untuk menjadi guru agama
dan katekis. Kriteria kepribadian yang baik untuk menjadi katekis adalah:
“iman yang
terungkap dalam kesalehannya dan kehidupannya sehari-hari; cinta akan Gereja
dan menjalin hubungan erat dengan para pastor; mempunyai jiwa merasul dan
semangat missioner; cinta akan saudara dan saudarinya dan bersedia memberi
pelayanan dengan murah hati; pendidikan yang memadai; hormat akan umat,
mempunyai kualitas manusiawi, moral, dan teknis yang diperlukan bagi pekerjaan
sebagai seorang katekis seperti dinamis, relasi yang baik dengan orang lain,
dan sebagainya” (Dokumen Evangelization of People, terjemahan Komisi Kateketik,
1997).
Dengan demikian menjadi
guru agama dan katekis dipengaruhi oleh beberapa faktor dan perkembangan usia.
Untuk itu pembinaan berkelanjutan terhadap kaum muda akan sangant menentukan
masa depan orang muda katolik.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Menjadi guru agama dan
katekis merupakan suatu pilihan karena berbeda dengan pilihan profesi lain. Maka
dari itu, pilihan subjek terhadap
cita-cita yang paling disukai tidak terdapat profesi katekis, sedangkan guru
agama hanya 4 orang. Meskipun demikian ada cukup banyak subjek yang memiliki
kecendrungan untuk menjadi guru agama dan katekis, sebagaimana terlihat pada
hasil pengukuran dengan angket guru agama Katolik dan katekis.
Dengan adanya temuan
ini para pembina kaum muda dan Gereja perlu menyusun suatu program strategis
untuk perkembangan dan pertumbuhan iman kaum muda. Hal ini diharapkan agar
terdapatnya kaum muda Katolik yang berminat menjadi guru agama dan katekis,
serta dapat bekerja di pemerintahan dengan semangat iman Katolik.
DAFTAR
PUSTAKA
Azwar S. (2003). Penyusunan skala psikologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiyono Hd. A.P. (Ed). (2009). Bunga rampai katekese. Surakarta:
Sekolah tinggi IPI Malang.
Chaplin (1995). Kamus psikologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Dokumen hasil pertemuan komisi kateketik Keuskupan
Agung Merauke (2011). Pengkaderan dan
pendidikan katekis di Keuskupan Agung Merauke.
Dinas Pendidikan dan Pengajaran (2012). Data jumlah siswa di kabupaten Merauke.
Hamu F. J. (2011) Kompetensi guru agama Katolik. (Jurnal sepakat).Palangka Raya:
STIPAS
Tahasak Danum Pambelum.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
Ivancavich J. M. dkk. (2007). Perilaku dan manajemen organisasi. Edisi 7. Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Kementrian Agama Kabupaten Merauke (2011). Jumlah sekolah dan guru agama Katolik di
kabupaten Merauke.
Komisi Kateketik KWI (Penerjemah). (1997). Pedoman untuk katekis: dokumen mengenai arah
panggilan, pembinaan, dan promosi katekis di wilayah-wilayah yang berada di
bawah wewenang CEP. Yogyakarta: Kanisius.
Pusat
bahasa depertamen pendidikan nasional (2001). Kamus besar bahasa Indonesia. Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Rubiyatmoko R.D.R. (Ed.). (2006). Kitab Hukum Kanonik. Jakarata:
Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Adelar, S. B. &
Saragih, S. (ahli bahasa). Kristiaji, W. C. & Sumiharti, Y. (Ed.). Jakarta:
Erlangga.
Tangdilintin P. (2008). Pembinaan generasi muda dengan proses Vosram.
Yogyakarta: Kanisius.
Komentar
Posting Komentar