Langsung ke konten utama

Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama


Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama Katolik.
Jantje Rasuh

Abstrak
Generasi muda merupakan tulang punggung Gereja, bangsa dan negara. Eksisnya Gereja akan ditentukan oleh generasi mudanya.  Begitu juga dengan pelayanan pastoral Gereja Katolik yang membutuhkan orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis. Guru agama Katolik berperan penting dalam pewartaan iman Katolik melalui kesaksian hidup, pendidikan dan pengajaran. Kurangnya orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama dan katekis. Penelitian dilakukan pada Sekolah Menengah Atas  Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke. Responden berjumlah 214 orang kelas X sampai XII, terdiri dari 145 siswa SMA Yoanes XXIII dan 69 siswa SMA Yos Sudarso. Pengambilan data dengan metode angket, yaitu angket persepsi terhadap guru agama Katolik dengan nilai reliabilitas Internal Consistency Alfa Cronbach ri = 0,429, dan angket katekis dengan nilai ri = 0,528. Analisis data menggunakan statistik deskriptif. Hasil perhitungan menunjukkan subjek umumnya berada pada kategori rata-rata untuk hasil pengukuran angket katekis dan guru agama. Hal ini berarti sebagian besar responden kurang berminat menjadi guru agama dan katekis. Namun ada cukup banyak responden yang berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi, yaitu 63 orang pada angket guru agama dan 60 orang pada angket katekis. Hal ini mengindikasikan mereka memiliki kecendrungan untuk berminat menjadi guru agama dan katekis. Dari hasil penelitian ini perlu adanya pembinaan pada generasi muda dengan perencanaan strategis agar tersedianya kader untuk berkarya di Gereja dan pemerintahan.
Kata Kunci: Generasi muda, persepsi, guru agama, dan katekis.

PENDAHULUAN
Guru agama Katolik dan katekis memiliki tugas pokok yang sama yaitu mewartakan iman kristiani. Guru agama Katolik berada di sekolah tempat karyanya sedangkan katekis di paroki atau stasi. Namun kenyataannya guru agama Katolik berfungsi ganda yaitu sebagai guru dan katekis. Hal ini disebabkan karena kurangnya orang muda Katolik yang mau menjadi katekis dan guru agama Katolik. Situasi seperti ini dialami oleh Keuskupan Agung Merauke (KAME).
Keuskupan Agung Merauke berada di tiga kabupaten yaitu, kabupaten Merauke, Mappi dan Boven Digoel. Data guru agama Katolik tahun 2011 menunjukkan bahwa di kabupaten Merauke masih kekurangan guru agama Katolik dan banyak guru pendidikan agama Katolik belum berpendidikan S1. Di bawah ini adalah data guru agama Katolik tahun 2011 dan jumlah sekolah mulai dari SD, SMP, SMA / SMK, serta data jumlah siswa menurut agama di kabupaten Merauke.
Tabel 1. Data jumlah sekolah dan guru Agama Katolik di Kabupaten Merauke
SEKOLAH
JUMLAH SEKOLAH
TINGKAT PENDIDIKAN GURU AGAMA KATOLIK
JUMLAH GURU

SPG
PGAK
DII
DIII
S1
S2
Sekolah Dasar
192
2
5
42
2
4

55
SMP
45


2
3
9

14
SMA / SMK
35


1

8
2
11
Total
272
2
5
45
5
21
2
80
Sumber: Kementrian Agama Kabupaten Merauke, tahun 2010 &2011.
Tabel 2. Data jumlah siswa SD, SMP, SMA, SMK di kabupaten Merauke menurut agama.
Sekolah
Agama Siswa SD, SMP. SMA, SMK
Jumlah
Islam
%
Protestant
%
Katolik
%
Hindu
%
Budha
%
Konghucu
%

Sekolah Dasar
12.699
37,9
5.336
15,93
15.415
46,01
39
0,12
12
0,04
-

33.501
Sekolah Menengah Pertama
4.586
43,48
1.927
18,23
4.000
37,83
47
0,44
11
0,1
-

10.571
Sekolah Menengah Atas
2.277
45,09
987
19,54
1.774
35,13
11
0,22
-

-

5.049
Sekolah Menengah Kejuruan
1.523
49,72
575
18,77
954
31,14
8
0,26
3
0,09
-

3.063
Jumlah total
21.085
40,40
8.825
16,91
22.143
42,43
105
0,20
26
0,05
-

52.184
Sumber: Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke, tahun 2011/2012
Tabel 3. Jumlah sekolah Katolik di kabupaten Boven Digoel & kabupaten Mappi.
Sekolah Katolik Kab. Boven Digoel
Jumlah

Sekolah Katolik Kab. Mappi
Jumlah
Sekolah Dasar
35

Sekolah Dasar
43
SMP
2

SMP
3
SMA / SMK
1

SMA / SMK

Total
38

Total
46
Sumber: Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Merauke, tahun 2009.
Total jumlah guru agama Katolik kabupaten Merauke berjumlah 80 orang. Banyaknya guru agama Katolik tidak sebanding dengan jumlah sekolah sebanyak 272 dengan  22.143 anak didik.  Akibatnya ada guru beragama Islam mengajar mata pelajaran agama Katolik (Dokumen Pertemuan Komisi Kateketik KAME dengan penghubung komisi di 4 dekanat dan 2 kevikepan, Juli 2011).
Data jumlah sekolah negri dan swasta serta guru agama Katolik di kabupaten Boven Digoel dan kabupaten Mappi tidak dapat diperoleh karena jaraknya jauh dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk data jumlah sekolah Katolik di kabupaten Mappi dan Boven Digoel tersedia karena kedudukan Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik berdomisili di Merauke.
Hasil pertemuan komisi kateketik KAME dengan para penghubung di Kevikepan dan Dekanat, di Rumah Bina Jalan Angkasa No.1 Kelapa Lima, Merauke, pada bulan Juli 2011, terungkap bahwa di paroki-paroki belum tersedia katekis yang sungguh-sungguh menempuh pendidikan khusus sebagai katekis. Pekerjaan katekis digabung dengan tugas dewan paroki yang tidak mengeyam pendidikan khusus sebagai katekis. Menurut Kitab Hukum Kanonik, Kan: 785, “Sebaiknya seorang katekis dididik dalam sekolah-sekolah yang khusus…”
Merujuk pada permasalahan di atas yaitu, mengapa kurangnya tenaga guru agama Katolik dan kurangnya minat orang muda menjadi guru agama dan katekis, penelitian ini dibuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi orang muda terhadap profesi guru agama Katolik dan katekis.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama Katolik dan katekis. Dengan mengetahui persepsi orang muda Katolik, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membangun motivasi orang muda menjadi rasul awam di KAME dan Gereja Katolik pada umumnya. Orang muda Katolik sebagai tulang punggung Gereja perlu mendapat pembekalan iman, pengetahuan dan keterampilan dengan terlebih dahulu mengetahui keadaan diri mereka.
LANDASAN TEORI
Orang Muda Katolik
Batasan usia orang muda Katolik ialah mereka yang berumur 13-24 tahun (Riberu dalam Tangdilintin, 2008). Batasan usia orang muda Katolik dimaksud dalam penelitian ini, mereka yang berusia 16-22 tahun atau usia sekolah lanjutan atas. Subjek penelitian ialah  siswa-siswi kelas X samapai kelas XII SMA Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke.
Orang muda Katolik kelas X sampai kelas XII di sekolah lanjutan atas secara psikologis berada pada tahap perkembangan remaja tengah dan remaja akhir. Pada tahap ini remaja sedang mencari identitas (Erikson, 1989). Remaja mempertanyakan siapa dirinya dan mau berkembang kearah mana. Untuk menjawab pertanyaan tentang dirinya dalam upaya mencari identitas, remaja melakukan peran yang berbeda-beda di dalam lingkungan ia tinggal. Remaja yang menemukan identitas dirinya akan menerima dirinya, sedangkan yang tidak menemukan identitas diri akan mengalami kebingungan identitas (Ekrikson dalam Santrock, 2003).
Selain itu, remaja memiliki tugas perkembangan mencapai kemandirian, bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dan mempunyai seperangkat nilai sebagai sistem etis yang menjadi pegangan dalam berperilaku (Hurlock, 1980). Hal ini dimaksudkan agar remaja dapat menentukan dirinya sendiri ketika dihadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan-pilihan dalam hidup termasuk memilih bidang ilmu dan pekerjaan yang akan ditekuni nanti.
Katekis
Katekis adalah orang yang beriman akan Kristus yang bangkit dengan mendidik atau mengajar iman kristiani kepada orang lain agar mereka memiliki iman yaitu, mampu menghayati bahwa dalam hidupnya berlangsung karya keselamatan Allah (STP “IPI Malang”, 2009). Pewartaan akan iman terhadap Kristus yang bangkit melalui katekese. Katekese berarti memberikan pendidikan dan pengajaran agama terhadap calon baptis, anak-anak dan masyarakat umum (STP “IPI Malang”, 2009). Singkatnya katekis adalah guru agama atau orang yang memberikan pengajaran agama di paroki atau stasi dengan memiliki pendidikan khusus sebagai seorang katekis.
Selanjutnya Komisi Kateketik KWI (1997) mengatakan ada dua tipe katekis yaitu: katekis purna waktu dan paruh waktu. Katekis purna waktu mengabdikan seluruh hidupnya sebagai katekis. Sedangkan katekis paruh waktu ikut terlibat secara terbatas dalam mengajarkan katekese dengan tulus dan serius.
Selain itu juga katekis dibedakan menurut jenis tugas atau Job Description untuk katekis yang mempunyai ikatan dengan Congregation for Evangelization of People (Komisi Kateketik KWI 1997). Jenis tugas dibedakan menjadi katekis dengan tugas khusus mengajarkan katekese, dan katekis yang bekerjasama dengan berbagai bentuk kerasulan. Pekerjaan katekis dengan tugas khusus meliputi: pendidikan iman kaum muda dan dewasa, menyiapkan para calon dan keluarganya untuk menerima sakramen inisiasi dalam Gereja. Sedangkan katekis yang bekerja dalam berbagai bentuk kerasulan, pekerjaannya mencakup memberikan katekese pada katekumen dan mereka yang sudah dibabtis, memimpin doa dan ibadat-ibadat, mengorganisir tugas-tugas paroki, memberikan pelatihan pada katekis lainnya. Katekis seperti ini ada di paroki-paroki yang memiliki luas wilayah yang besar.
Guru Agama Katolik
Guru agama ialah orang yang mengajar mata pelajaran agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Guru agama Katolik adalah orang yang sudah dibaptis mengajar agama Katolik di sekolah formal dan telah menempuh pendidikan formal guru agama. Oleh karena itu, mengajarkan mata pelajaran agama Katolik tidak dapat dilakukan sembarangan orang di luar disiplin ilmu yang dimaksud, tetapi orang yang sungguh-sungguh memahami dan ahli dalam bidangnya sebagai pendidik dan pewarta sabda (Society Devoted to The Sacred Heart dalam Hamu, 2011).

Persepsi Orang muda Katolik terhadap katekis dan guru agama Katolik
Menurut Chaplin  (1995) persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif melalui indra. Lebih jauh lagi Ivancavich dkk. (2007) menjelaskan persepsi merupakan proses kognitif dimana terjadi aktivitas memilih, mengorganisasikan, dan memberikan arti terhadap stimulus atau objek. Hasil dari interpretasi melalui persepsi, memengaruhi sikap dan perilaku. Sikap berupa respon positif atau negatif terhadap stimulus lingkungan.
Persepsi orang muda terhadap guru agama Katolik dan katekis terbentuk melalui pengalaman dan pengetahuan mereka yang memengaruhi sikap dan perilaku. Sebagaimana dijelaskan oleh Ivancavich dkk. (2007) bahwa persepsi merupakan interpretasi dari objek, orang lain yang memengaruhi sikap dan perilaku. Pilihan menjadi guru agama Katolik dan katekis  tergantung pada pengetahuan dan minat karir yang terbentuk melalui persepsi.
Pengembangan karir seseorang ditentukan oleh salah satu dari tiga hal ini yaitu, tahap-tahap perkembangan pemilihan karir, konsep diri dan tipe kepribadian (Ginzberg, Super, Holland dalam Santrock, 2003). Menurut Ginzberg perkembagan karir anak dan remaja melalui tiga tahap. Tahap pertama ialah tahap fantasi. Pada tingkat ini anak mengatakan apa saja yang menjadi cita-citanya tanpa memperhitungkan keadaan dirinya. Tahap ini di mulai masa kanak-kanak sampai usia 11 tahun. Selanjutnya tahap tentatif,  sebuah transisi dari tahap fantasi masa kecil ke tahap realistis. Keadaan ini di mulai dari usia 11 tahun sampai 17 tahun. Remaja mulai mengevaluasi minatnya di usia 11-12 tahun, kemudian mengevaluasi kemampuannya umur 14-15 tahun. Di usia 16-17 tahun remaja mengevaluasi nilai mereka. Melalui masa peralihan itu, remaja sampai pada pengertian dan pemahaman diri yang realistis. Umur 17-20 tahun remaja menentukan karirnya lebih realistis. Artinya dalam menetukan karirnya remaja memperhitungkan keadaan dirinya, kemampuannya sehingga penentuan karir relatif permanen.
Teori Ginzberg berbeda dengan Super tentang penentuan karir (Santrock, 2003). Menurut Super konsep diri seseorang memainkan peran utama dalam penentuan karir. Proses penentuan karir melalui lima fase yaitu: kristalisasi, spesifikasi, inplementasi, stabilisasi dan konsolidasi. Fase pertama  atau kristalisasi di mulai pada usia sekitar 14-18 tahun. Pada tahap ini remaja masih mencampurkan gambaran kerja dengan kosep dirinya. Saat inilah remaja mulai membangun konsep diri tentang karir. Setelah itu fase kedua spesifikasi, pemilihan karir mulai mengerucut atau lebih spesifik. Artinya mengarahkan diri pada bidang kerja tertentu, dimulai pada usia 18-22 tahun. Fase ketiga usia dewasa awal 22-24 tahun telah menyelesaikan sekolah atau pelatihan dan memasuki dunia kerja. Karena itu fase ini disebut fase inplementasi. Usia 25-35 tahun seseorang berada pada fase stabilitas, karena sudah menentukan karier tertentu. Fase kelima seseorang akan berusaha memajukan kariernya untuk posisi yang lebih tinggi atau konsolidasi di usia 35 tahun ke atas.
Menurut Holland (dalam Santrock, 2003) tipe kepribadian merupakan variabel penentu karier seseorang. Jika orang menemukan pekerjaan sesuai dengan tipe kepribadiannya, ia akan bekerja lebih lama di bidang tersebut ketimbang mereka yang bekerja tidak cocok dengan kepribadiannya. Ada enam tipe kepribadian yang perlu diperhatikan dalam menetukan pekerjaan atau karir seseorang. Keenam tipe kepribadian meliputi: realistis, intelektual, sosial, konvensional, enterprising, dan artistik. Realistik, orang-orang memilki sifat-sifat maskulin yang kuat dengan cirri-ciri: kuat secara fisik, menyelesaikan masalah secara praktis, kemampuan sosial rendah. Tipe realistik cocok bekerja sebagai: petani, buruh, pengemudi bis dan tukang bangunan. Tipe Intelektual berorientasi pada konseptual dan teoritis. Mereka lebih cocok menjadi pemikir, konseptor. Oleh karena itu orang demikian menghindari hubungan interpersonal, dan cocok bekerja yang berhubungan dengan matematika atau keilmuan. Sosial, memiliki sifat feminim khususnya yang berhubungan dengan verbal dan interpersonal. Tipe ini lebih cocok berhubungan dengan banyak orang misalnya: mengajar, menjadi pekerja sosial dan lain-lain. Konvensional, lebih tertarik pada keteraturan, cocok menjadi sekertaris, pegawai bawahan, teller bank, atau pekerja administrasi. Enterprising, memiliki sifat suka menguasai orang lain, mendominasi, negoisasi. Tipe ini cocok menjadi sales, politikus, manager.
Selanjutnya tipe artistik, orang yang suka berinteraksi dengan dunianya sendiri melalui ekspresi seni. Tipe ini memiliki kecendrungan menghindari situasi interpersonal dan konvensional.
            Persepsi membentuk sikap positif atau negatif terhadap sebuah pilihan, termasuk penentuan karir sebagai guru agama dan katekis. Sikap positif apabila seseorang mau atau memilih pekerjaan yang ia inginkan. Sikap negatif ketika individu tidak mau memilih pekerjaan yang ditawarkan. Kedua sikap tersebut berhubungan dengan persepsi dan tipe kepribadian.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif  kuantitatif. Penelitian yang mengambarkan persepsi kaum muda Katolik terhadap guru agama dan katekis dengan statistik deskriptif.

Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini adalah siswa-siswi kelas X-XII  SMA Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke yang berjumlah 214 orang. Mereka berusia antara 16-22 tahun. SMA Yoanes XXIII  siswanya berjumlah 374 orang dan SMA Yos Sudarso Merauke memiliki jumlah siswa 163 orang (Dinas Pendidikan dan Pengajaran kabupaten Merauke, 2012). Sampel penelitian terdiri dari 145 siswa  SMA Yoanes XXIII dan 69 siswa SMA Yos Sudarso Merauke.
Sampel penelitian ditentukan dengan cara memberikan angket pada seluruh siswa yang hadir pada saat penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan 3 kali menurut tingkatan kelas dan jurusan di SMA Yoanes XXIII. Pada SMA Yos Sudarso dilakukan satu kali.
Alat Ukur
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan angket persepsi terhadap guru agama Katolik dan katekis. Angket disusun dengan menggunakan lima pilihan jawaban. Setiap jawaban yang diberikan responden diberikan nilai dengan menggunakan skala Likert. Pembagian angket dilakukan di dua sekolah menengah atas pada saat jam sekolah. Angket katekis memiliki nilai reliabilitas Internal Consistency Alfa Cronbach sebesar 0,528 sedangkan angket guru agama Katolik sebesar 0,429.
Aspek yang Diukur
Penelitian ini berupaya untuk mengetahui jenis cita-cita yang diinginkan responden dan persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama Katolik dan katekis. Pengumpulan data jenis cita-cita, dengan cara memberikan pertanyaan pada respoden tentang cita-cita mereka. Sedangkan pengukuran persepsi, diukur dengan angket. Angket persepsi dibuat berdasarkan teori persepsi dari  Ivancavich dkk. (2007). Secara teoritis persepsi berarti pengetahuan yang diperoleh dari hasil interpretasi individu terhadap stimulus atau orang lain, kemudian membentuk sikap dan memengaruhi perilaku.
Secara oprasional persepsi menunjuk pada pengetahuan individu tentang guru agama Katolik dan katekis, kemudian menentukan sikap positif atau negatif terhadap subjek tersebut dan memengaruhi perilaku. Dalam penelitian ini aspek yang diukur adalah persepsi yang dijabarkan pada aspek pengetahuan dan sikap. Aspek pengetahuan mencakup pekerjaan,  kepribadian, keadaan ekonomi serta status sosial dari guru agama Katolik dan katekis. Sedangkan sikap menunjuk pada kemauan responden untuk menjadi guru agama Katolik atau katekis.  Aspek-aspek yang akan diukur itu dijabarkan dalam 10 pertanyaan angket katekis dan 10 pertanyaan angket guru agama Katolik.
Analisis Data
Analisis data menggunakan perhitungan statistik deskriptif. Untuk data yang diperoleh dengan angket menggunakan sistem skoring menurut Likert atau skala interval.

HASIL PENELITIAN
Di bawah ini adalah hasil penelitian jenis cita-cita responden dan persepsi responden atau orang muda Katolik terhadap guru agama Katolik dan katekis.

Tabel 4. Jenis cita-cita responden
NO
Jenis cita-cita responden
Jumlah
1
Dokter
36
2
Polisi
33
3
Perawat
19
4
Guru
18
5
PNS
14
6
Pegawai
13
7
TNI
11
8
Pegawai Bank
6
9
Pengacara
6
810
Pengusaha
5
11
Bidan
5
12
Guru agama Katolik
4
13
Guru Bahasa Inggris
4
14
Lain-lain
40
Tabel 5. Statistik deskripsi hasil penelitian persepsi terhadap katekis.
Variabel
Skor
Mean
SD
Teoritis
Empiris
Teoritis
Empiris
Teoritis
Empiris

Mak
Min

Mak
Min






Guru agama Katolik
50
10

46
21

30
33,18

8,33
4,50
Katekis
50
10

43
10

30
31,82

8,33
4,76

Keterangan:
Minimal            : - Skor teoritis terendah guru agama Katolik = 10, katekis = 10.
                        - Skor terendah yang defakto diperoleh subjek, guru agama Katolik = 21,
                          katekis = 10.
Maksimal         : - Skor teoritis tertinggi guru agama Katolik = 50, katekis = 50
                        - Skor tertinggi yang defakto diperoleh subjek, guru agama Katolik = 46,
                          Katekis = 43.
Mean Teoritis: Rata-rata skor teoritis, guru agama Katolik = 30, katekis = 30.
Mean Empiris: Rata-rata skor defakto pada hasil penelitian, guru agama Katolik = 33,18,
                        Katekis = 31,82.
SD                   : Standar deviasi teoritis guru agama Katolik = 8,33, katekis = 8,33.
                        Stadar deviasi defakto, guru agama katolik = 4,50, katekis = 4,76.

Kategorisasi Norma Persepsi Terhadap Guru Agama Katolik Dan Katekis.
Untuk menentukan kategorisasi norma dalam penelitian ini berdasarkan norma model distribusi normal Azwar (2003). Dalam penelitian ini menggunakan 5 kategori sebagai berikut:
Tabel 6: Kategorisasi norma.
             Norma                                                                           Kategori
       _
X < X – 1,5 SD                                                                    Sangat rendah
_                           _
X – 1,5 SD < X < X- 0,5 SD                                                     Rendah
_                           _
X – 0,5 SD < X < X + 0,5 SD                                                    Sedang
_                           _
X + 0,5 SD < X < X + 1,5 SD                                                     Tinggi
_
X + 1,5 SD < X                                                                         Sangat tinggi.





Kategorisasi norma berdasarkan patokan norma di atas.
Tabel 7. Kategorisasi subjek pada angket persepsi guru agama Katolik.
Rentang Nilai  (10 -50)
Kategori
Jumlah Subjek
Persen
X < 26,43
Sangat rendah
14
6%
26, 43 > X ≤ 30,93
Rendah
47
22%
30,93 < X ≤ 35,43
Sedang
90
42%
35,43 < X ≤ 39,93
Tinggi
44
21%
39,93 < X
Sangat tinggi
19
9%
Jumlah

214
100%

Tabel 8.Kategori subjek pada angket katekis.
Rentang Nilai  (10 -50)
Kategori
Jumlah Subjek
Persen
X < 24,68
Sangat rendah
10
5%
24, 68 > X ≤29,44
Rendah
60
28%
29,44 < X ≤ 34,2
Sedang
84
39%
34,2 < X ≤ 38,96
Tinggi
46
21%
38,96 < X
Sangat tinggi
14
7%
Jumlah

214
100%

DISKUSI
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi subjek terhadap guru agama Katolik dan katekis berada pada tingkat sedang.  Dari 214 subjek penelitian terdapat 90 orang yang berada di kategori sedang untuk persepsi terhadap profesi guru agama Katolik, dan 84 orang terhadap katekis. Hal ini berarti pada umumnya subjek penelitian bersikap negatif terhadap pilihan menjadi guru agama dan katekis. Hal ini didukung oleh data pada tabel 4 tentang jenis cita-cita yang diminati subjek, untuk guru agama katolik berjumlah 4 orang dari total responden 214 orang, untuk katekis tidak ada responden yang mau menjadi katekis.
Akan tetapi ada 44 orang berada pada kategori tinggi dan 19 orang sangat tinggi untuk persepsi terhadap guru agama Katolik, untuk katekis 46 kategori tinggi dan 14 orang sangat tinggi. Itu berarti ada 63 orang yang memiliki kecendrungan cukup kuat untuk berminat menjadi guru agama Katolik, dan 60 orang menjadi katekis. Data ini berbeda dengan apa yang diungkapkan responden pada pertanyaan tentang jenis cita-cita yang mereka minati (tabel 4). Pada data tabel 4, mengukur jenis cita-cita yang paling disukai. Perbedaan ini terjadi karena subjek penelitian masih sedang mencari cita-cita yang tepat dengan dirinya. Sebagaimana yang dikatakan Ginzberg (dalam Santrock, 2003) bahwa pilihan karier remaja terjadi secara bertahap. Remaja akan sampai pada pemilihan jenis karier yang diminati melalui beberapa tahap perkembangan sejalan dengan pertambahan usia, yang dipengaruhi oleh konsep dirinya (Super, dalam Santrock, 2003).
Untuk subjek yang termasuk pada kategori tinggi dan sangat tinggi memiliki kecendrungan yang cukup kuat untuk menjadi guru agama Katolik dan katekis. Hal ini dapat didukung dengan pembinaan iman yang terprogram secara strategis. Melalui perencanaan strategis tentang pembinaan generasi muda, akan tersedianya kader awam di berbagai bidang yang dapat bekerja di pemerintahan maupun di Gereja Katolik (Tangdilitin, 2008). Oleh karena itu, pembinaan yang terprogram akan membantu orang muda dalam proses penemuan jati diri, panggilan hidup dan jenis pekerjaan yang cocok untuk dirinya. Mengingat untuk menjadi guru agama dan katekis bukan sembarang orang, tetapi mereka yang sungguh-sungguh paham  sebagai pandidik dan pewarta sabda (Society Devoted to The Sacred Heart dalam Hamu, 2011).
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah faktor kepribadian. Menurut Holland (dalam Santrock, 2003) faktor kepribadian sangat menentukan karier atau bidang yang diminati untuk bekerja lebih lama. Oleh karena itu, tipe kepribadian orang muda perlu dikenali karena tidak semua subjek yang berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi pada hasil penelitan ini memiliki kepribadian cocok untuk menjadi guru agama dan katekis. Kriteria kepribadian yang baik untuk menjadi katekis adalah:
“iman yang terungkap dalam kesalehannya dan kehidupannya sehari-hari; cinta akan Gereja dan menjalin hubungan erat dengan para pastor; mempunyai jiwa merasul dan semangat missioner; cinta akan saudara dan saudarinya dan bersedia memberi pelayanan dengan murah hati; pendidikan yang memadai; hormat akan umat, mempunyai kualitas manusiawi, moral, dan teknis yang diperlukan bagi pekerjaan sebagai seorang katekis seperti dinamis, relasi yang baik dengan orang lain, dan sebagainya” (Dokumen Evangelization of People, terjemahan Komisi Kateketik, 1997).
Dengan demikian menjadi guru agama dan katekis dipengaruhi oleh beberapa faktor dan perkembangan usia. Untuk itu pembinaan berkelanjutan terhadap kaum muda akan sangant menentukan masa depan orang muda katolik.

KESIMPULAN DAN SARAN
Menjadi guru agama dan katekis merupakan suatu pilihan karena berbeda dengan pilihan profesi lain. Maka dari itu,  pilihan subjek terhadap cita-cita yang paling disukai tidak terdapat profesi katekis, sedangkan guru agama hanya 4 orang. Meskipun demikian ada cukup banyak subjek yang memiliki kecendrungan untuk menjadi guru agama dan katekis, sebagaimana terlihat pada hasil pengukuran dengan angket guru agama Katolik dan katekis.
Dengan adanya temuan ini para pembina kaum muda dan Gereja perlu menyusun suatu program strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan iman kaum muda. Hal ini diharapkan agar terdapatnya kaum muda Katolik yang berminat menjadi guru agama dan katekis, serta dapat bekerja di pemerintahan dengan semangat iman Katolik.



DAFTAR PUSTAKA
Azwar S. (2003). Penyusunan skala psikologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiyono Hd. A.P. (Ed). (2009). Bunga rampai katekese. Surakarta: Sekolah tinggi IPI Malang.
Chaplin (1995). Kamus psikologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Dokumen hasil pertemuan komisi kateketik Keuskupan Agung Merauke (2011). Pengkaderan dan pendidikan katekis di Keuskupan Agung Merauke.
Dinas Pendidikan dan Pengajaran (2012). Data jumlah siswa di kabupaten Merauke.
Hamu F. J. (2011) Kompetensi guru agama Katolik. (Jurnal sepakat).Palangka Raya: STIPAS
          Tahasak Danum Pambelum.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Ivancavich J. M. dkk. (2007). Perilaku dan manajemen organisasi. Edisi 7. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Kementrian Agama Kabupaten Merauke (2011). Jumlah sekolah dan guru agama Katolik di kabupaten Merauke.
Komisi Kateketik KWI (Penerjemah). (1997). Pedoman untuk katekis: dokumen mengenai arah panggilan, pembinaan, dan promosi katekis di wilayah-wilayah yang berada di bawah wewenang CEP. Yogyakarta: Kanisius.
Pusat bahasa depertamen pendidikan nasional (2001). Kamus besar bahasa Indonesia. Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Rubiyatmoko R.D.R. (Ed.). (2006). Kitab Hukum Kanonik. Jakarata: Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Adelar, S. B. & Saragih, S. (ahli bahasa). Kristiaji, W. C. & Sumiharti, Y. (Ed.). Jakarta: Erlangga.
Tangdilintin P. (2008). Pembinaan generasi muda dengan proses Vosram. Yogyakarta: Kanisius.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permasalahan Anak Usia Sekolah Dasar

Permasalaha Anak Usia Sekolah Dasar Gerakan pembentukan karakter begitu gencar dibicarakan saat ini seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran tentang betapa penting pembentukan karakter. Menurut Stephen R Covey (2004) 90 persen nilai kepemimpinan adalah karakter. Sementara penelitian yang dilakukan di Harvard University menunjukkan 80 %   perilaku seorang pemimpin tergantung pada karakter personal orang tersebut (Warren Benis, dalam Educare Mei 2009). Dalam pembentukkan karakter perlu juga diperhatikan problem atau situasi konkrit yang dialami subjek atau anak didik. Sehingga pembentukan karakter itu bertolak dari permasalah real serta berbasis data. Saat upaya memahami pribadi anak didik kebanyakkan mengunakan teori yang berasal dari dunia barat.   Oleh karena itu, penelitian ini berupaya mengetahui permasalahan yang dialami oleh anak usia sekolah dasar secara kontekstual. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi dalam memahami permasalahan anak usia

The Way of the Heart

                                                                     The Way of the Heart                                                            (Tulisan di bawah ini dari FB saya) Menurut Jules Chevalier masalah sosial yang dialami masyarakat Perancis setelah revolusi di abab 18 adalah individualitas, egoisme dan sikap acuh tak acuh.Ia menganalogikan masalah-masalah tersebut seperti penyakit atau wabah. Untuk mengatasi masalah tersebut menurutnya Hati Kudus Yesus adalah obatnya.Orang perlu berdevosi kepada Hati Kudus Yesus untuk menghadapi masalah tersebut. Namun yang ia maksudkan adalah sebuah gaya hidup menurut hati atau cara hidup menurut hati (the way of the heart) yang bersumber pada hati Kudus Yesus, bukan semata-mata perbuatan ritual atau kultus. Kemudian saat ini ada sekelompok orang yang ingin spiritualitas tersebut relevan dengan permasalahan hidup yang dihadapi oleh umat dan masyarakat. Hal itu berpengaruh pada proses menjadikan Jules Chevalier sebagai ora