Langsung ke konten utama

The Way of the Heart




                                                                     The Way of the Heart
                                                           (Tulisan di bawah ini dari FB saya)

Menurut Jules Chevalier masalah sosial yang dialami masyarakat Perancis setelah revolusi di abab 18 adalah individualitas, egoisme dan sikap acuh tak acuh.Ia menganalogikan masalah-masalah tersebut seperti penyakit atau wabah. Untuk mengatasi masalah tersebut menurutnya Hati Kudus Yesus adalah obatnya.Orang perlu berdevosi kepada Hati Kudus Yesus untuk menghadapi masalah tersebut. Namun yang ia maksudkan adalah sebuah gaya hidup menurut hati atau cara hidup menurut hati (the way of the heart) yang bersumber pada hati Kudus Yesus, bukan semata-mata perbuatan ritual atau kultus.
Kemudian saat ini ada sekelompok orang yang ingin spiritualitas tersebut relevan dengan permasalahan hidup yang dihadapi oleh umat dan masyarakat. Hal itu berpengaruh pada proses menjadikan Jules Chevalier sebagai orang kudus (santo). Mereka melakukan tes yang menjadi pemicu atau pemantik untuk memunculkan masalah-masalah sosial.Tes ini berangkat dari sebuah pemahaman yang ada dalam dunia kesehatan, misalnya untuk mengetahui seseorang menderita suatu penyakit perlu diberikan obat yang memicu munculnya suatu penyakit yang telah berada dalam tubuh manusia yang tidak terdeteksi. Misalnya virus penyakit malaria yang berdiam pada hati, hanya diberikan dengan obat tertentu atau berada pada kondisi, lingkungan tertentu baru ia bereaksi. Kemudian orang tersebut baru menampakkan gejala-gejala penderita penyakit malaria. Hal yang sama juga berlaku pada umat atau masyarakat hanya diberikan sebuat tes baru kemudian muncul masalah-masalah sosial, iman atau keagamaan. 
Tes yang mereka lakukan sebuah eksperimen dengan menggunakan umat atau masyarakat yang dijadikan "model". Siapa yang menjadi model akan mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan tujuan tes. Misalnya ada yang menjadi model pada masalah tentang hubungan semendah atau perkawinan, hubungan seks sedarah.Jadi ada yang mau melakukan hubungan seks misalnya kakak beradik sampai punya anak dan menikah secara adat pada hal tidak sesuai dengan ajaran gereja Katolik.Mereka mendapatka uang banyak, kemudahan dalam hidup, pekerjaan, kendaraan, dll. Apakah orang yang lain akan mengikuti? Hal yang sama juga dibidang Eutanasia, prostitusi, korupsi, tumbalisme, pemalsuan identitas, egoisme dll. Kalau banyak orang yang terlibat akan menjadi sebuah fenomena.
Selain itu tes dalam bentuk umpan balik, permainan Tic Tac Toe. Mereka bisa menggunakan tayangan televisi, film misalnya: Inferno, film-film yang dibintangi oleh Dono, Kasino, Indro, isu tentang penghargaan bertaraf internasional dan sebagainya. Efek dari semua itu dapat berupa egoisme, individulisme, sikap acuh tak acuh, perceraian, hoaks (hoax) korupsi, terorisme, pembunuhan dll.Untuk memuluskan permaian ini, mereka menguasai perbankan, lembaga-lembaga tinggi suatu negara, bahkan mendidik orang untuk menempati posisi-posisi strategis tersebut. 
Dari kondisi-kondisi di atas spiritualitas hati dapat menjadi solusi.Hati nurani yang memiliki kepekaan untuk merasakan, menangkap, mengerti dan mewujudkan nilai, membuat manusia semakin beradab.Ia juga berfungsi sebagai Index (penunjuk nilai), Iudex (hakim) dan Vindex (penghukum).
Untuk mempertajam hati nurani orang perlu melakukan Descretio, atau berhubungan dengan pemeriksaan batin: konsistensi psikologis, Inkonsistensi sosial, Inkonsistensi psikologis, dan meditasi, empati serta Compassion. 

Lanjutan dari The Way of yhe Heart......
Dalam membentuk suara hati atau hati nurani terdapat juga internalisasi nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan dan agama. Dengan begitu telah terjadi proses rasional, emosi dan pertimbangan moral. Hal ini akan membuat individu memiliki pengendalian diri secara internal atau pusat kendali internal (Internal Locus of Control).
Ada 2 hal yang mengendalikan perilaku atau tindakan seseorang yaitu: Pertama, faktor eksternal (external Locus of Control) yang berarti kejadian-kejadian dalam diri individu di tentukan oleh keadaan di luar dirinya terdiri dari lingkungan atau orang yang berkuasa (Powerful Others) dan Chance. Chance berarti kejadian-kejadian dalam hidup individu ditentukan oleh nasib, peluang dan keberuntungan.Kedua, faktor internal, dimana kejadian-kejadian dalam hidup individu ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri.
Orang yang memiliki pusat internal yang kuat memiliki otonomi diri yang kuat juga.Otonomi berarti kemampuan mengatur diri, menentukan diri dan memiliki seperangkat nilai dalam memaknai sesuatu serta sebagai pedoman untuk bertindak.Otonomi terdiri dari 3 aspek yaitu; Emotional, Value, dan Behavioral Autonomy. Emotional Autonomy adalah kemampuan melakukan hubungan emotional dengan orang lain. Value Autonomy berarti kemampuan memaknai sesuatu dan memiliki nilai sebagai pedoman untuk bertindak. Behavioral Autonomy adalah kepiawaian individu dalam mengambil keputusan serta siap melaksanakan. Dengan demikian orang yang cara hidupnya berdasarkan spiritualitas hati memiliki suara hati atau hati nurani yang baik.
Berkaitan dengan penegakkan hukum, hati nurani atau suara hati memiliki peran yang sangat penting, karena dalam hati nurani terdapat perwujudan nilai.Artinya kepatuhan pada undang-undang yang berlaku merupakan ungkapan dari penghayatan nilai-nilai yang diyakini misalnya kemanusiaan, kebangsaaan atau Pancasila.Hal ini seperti hukum yang berlaku di Indonesia menggunakan teori Stufenbau atau piramida hukum. Dimana hukum dimulai dari yang abstrak (Ideologi negara dan Undang-undang Dasar), sampai yang konkret (peraturan-peraturan yang berlaku) sehingga susunan jenjangnya sebagai berikut:
1. Pancasila
2. Undang-undang Dasar
3. Ketetapan MPR
4. Undang-undang
5.Peraturan pengganti undang-undang
6.Peraturan pemerintah
7.Keputusan presiden
8.Keputusan menteri
9. Keputusan dirjen dst.
Itulah contoh hukum yang didasari oleh nilai-nilai kebangsaan yaitu Pancasila.Jadi individu patuh terhadap hukum karena ada nilai-nilai yang diyakini atau sebagai perwujudan nilai.
Untuk memahami hal ini dapat menggunakan teori orientasi moral menurut Lawrence Kholberg.Menurut Kholberg ada 3 tingkat dan 6 tahap dalam perkembangan penalaran moral individu.
Tingkat I : Prakonvensional
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan, berarti orang patuh pada hukum karena takut pada hukuman atau orang yang berkuasa.
Tahap 2: Individualisme dan tujuan, taat pada hukum karena mengharapkan hadiah misalnya pujian atau penghargaan.
Tingkat II : Konvensional
Tahap 3: Norma Interpersonal, patuh pada hukum karena ingin disebut "anak baik atau manis". Individu menggunakan standard moral orang tua atau orang yang berkuasa supaya disebut "anak manis".
Tahap 4: Moralitas sistem sosial, ketaatan pada aturan, hukum dan nilai keadilan. Orang taat pada hukum demi aturan, hukum itu sendiri dan keadilan.
Tingkat III : Postkonvensional
Tahap 5: Hak komunitas vs hak individu. Taat pada hukum, itu relatif.Hukum dapat diubah karena orang bisa saja punya pandangan berbeda tentang hukum dan nilai lebih penting dari pada hukum.
Tahap 6: Prinsip Etis Universal, pada tahap ini orang taat pada hukum berdasarkan standar yang universal atau nilai-nilai universal. Ketika terjadi konflik pada diri indvidu antara hukum dan hati nurani atau suara hati ia lebih memilih suara hati atau hati nurani berdasarkan nilai-nilai luhur dan universal.
Oleh karena itu mereka yang hidup menurut spiritualitas hati, kata hati, suara hati atau hati nurani taat pada hukum dan hidup lebih baik dari pada pasal-pasal hukum yang berlaku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permasalahan Anak Usia Sekolah Dasar

Permasalaha Anak Usia Sekolah Dasar Gerakan pembentukan karakter begitu gencar dibicarakan saat ini seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran tentang betapa penting pembentukan karakter. Menurut Stephen R Covey (2004) 90 persen nilai kepemimpinan adalah karakter. Sementara penelitian yang dilakukan di Harvard University menunjukkan 80 %   perilaku seorang pemimpin tergantung pada karakter personal orang tersebut (Warren Benis, dalam Educare Mei 2009). Dalam pembentukkan karakter perlu juga diperhatikan problem atau situasi konkrit yang dialami subjek atau anak didik. Sehingga pembentukan karakter itu bertolak dari permasalah real serta berbasis data. Saat upaya memahami pribadi anak didik kebanyakkan mengunakan teori yang berasal dari dunia barat.   Oleh karena itu, penelitian ini berupaya mengetahui permasalahan yang dialami oleh anak usia sekolah dasar secara kontekstual. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi dalam memahami permasalahan anak usia

Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama

Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama Katolik. Jantje Rasuh Abstrak Generasi muda merupakan tulang punggung Gereja, bangsa dan negara. Eksisnya Gereja akan ditentukan oleh generasi mudanya.   Begitu juga dengan pelayanan pastoral Gereja Katolik yang membutuhkan orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis. Guru agama Katolik berperan penting dalam pewartaan iman Katolik melalui kesaksian hidup, pendidikan dan pengajaran. Kurangnya orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama dan katekis. Penelitian dilakukan pada Sekolah Menengah Atas   Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke. Responden berjumlah 214 orang kelas X sampai XII, terdiri dari 145 siswa SMA Yoanes XXIII dan 69 siswa SMA Yos Sudarso. Pengambilan data dengan metode angket, yaitu angket persepsi terhadap guru agama Katolik dengan nilai reliabilitas Internal