Agama Sebagai Orang Tua
Ketika masih kanak-kanak manusia menjadikan orang tua sebagai tempat berlindung, mendapatkan rasa aman, kenyamanan, kehangatan, bombongan, ketenangan, kasih sayang, cinta, penghargaan dan sebagainya. Karena itu anak-anak percaya pada orang tua dan menjadi sumber acuan dan legitimasi anak dalam berperilaku. Sedangkan orang lain yang tidak sama dengan keluarga, kelompok atau sukunya otomatis dinilai salah atau buruk (pseudospesies). Disamping itu orang tua merupakan sesuatu yang Numinous baginya. Suatu perasaan bayi atau anak terhadap orang tua yang bersifat keramat, pandangannya, sentuhannya, senyuman, cara memanggil namanya, dll.
Jika anak mendapat masalah misalnya mengalami rasa takut atau rasa malu, orang tua dijadikan tempatnya berlindung. Ia bersembunyi di balik pakaian ibu atau dibelakang ayahnya. Saat anak tumbuh menjadi orang dewasa ia menciptakan sesuatu atau mencari sesuatu sebagai pelindung, mendapatkan rasa aman, singkatnya memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologisnya. Apabila adanya ancaman atau permasalahan hidup yang muncul seorang anak yang menjadi dewasa merasa rasa malu atau tabu kalau orang tua dijadikan tempat ia berlindung. Oleh karena itu manusia menjadikan agama sebagai tempat ia berlindung atau memenuhi kebutuhannya. Karena di dalam agama terdapat suatu yang transenden yaitu Tuhan. Tuhan seolah-olah dijadikannya sebagai pengganti orang tuanya melalui tokoh-tokoh agama atau pejabat dalam agama. Ketergantungannya pada orang tua dikompensasikan pada agama.
Pada serangkaian tahap perkembangan manusia baik secara fisiologis maupun psikologis akan mengalami tingka laku yang baru dan mengandung kecemasan serta frustasi dalam taraf tertentu. Apabila manusia tidak dapat mengatasinya maka akan terjadi fiksasi dan regresi. Hal itu menghalangi orang dewasa untuk berperilaku mandiri dan akan muncul perilaku infantil atau perilaku kekanak-kanakan. Fiksasi berarti mandek atau terhenti pada tahap perkembangan tertentu. Sedangkan regresi kembali ke tahap perkembangan lebih awal dimana anak mendapatkan tekanan yang berat atau traumatik. Orang dewasa ketika mendapatkan masalah dalam hidupnya misalnya: ekonomi, pekerjaan, kesehatan, keamanan dll. agama dijadikannya sebagai solusi. Misalnya dalam menanggapi isu tentang penerima penghargaan ada beragam tanggapan yang muncul pada sekelompok anak-anak. Anak no. 1 (selanjutnya hanya ditulis angka): " saya yang menang karena ketua kelas". 2: "Saya, saya setiap hari pimpin doa pagi dan membaca renungan". 3: "saya, nilai agama saya sangat baik". 4: "eh, saya yang menang, saya biasa pimpin gerak jalan. Bapak saya pensionan letnan. dari pada dia cuma tukang tibo dan jual bakasang". 5: "Saya yang menang, saya kapten. Kalau bermain bola saya jadi kapten". 6: Saya bisa panjat kelapa, saya yang menang". 7: Dia, ha.ha..ha.., Saya bisa menyanyi, suara saya bagus dan bisa main musik. 8: saya, saya biasa bantu guru pada saat mengurusi kalau ada yang sakit". 9: saya, saya biasa ikut guru membantu fakir miskin dan anak-anak terlantar, anak-anak yang sakit jantung dan Maag, kalau dikagetkan jadi lapar (kalu sekage lapar). 10: saya yang biasa batu guru urus koperasi sekolah. 11: Kamu, saya, saya yang tulis tatatertib sekolah dan mengawasi siapa yang bolos dan mencontek. Saya juga tau siapa anak yang lulus ujian karena menjawab soal hanya spekulasi (jaboting) kalau menjawab soal pilian ganda".
Padahal yang menjadi pemenang adalah orang lain yang berhasil menerapkan prinsip hukum Newton secara sederhana dan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Jadi agama sebagai orang tua dapat menjadi kompensasi atau sublimasi. Siapa yang tahu?
Komentar
Posting Komentar