Langsung ke konten utama

KRISTAL A............

 KRISTAL A........

CRISTAL A........
X = T + E merupakan asumsi 1 dari teori skor murni klasik atau dikenal juga dengan teori "True and Error Scores". X merupakan skor tampak atau yang diamati ("obtained score"). T = True score atau skor murni. E = error atau kesalahan pengukuran. Misalkan akan mengukur atribut atau variabel Achievement yang merupakan bagian yang diamati atau diukur pada Crystal Award. Definisi operasional dari Achievment adalah - menyelesaikan sesuatu yang sulit, menguasai, memanipulasi atau mengatur benda-benda fisik, manusia atau ide-ide. - Melakukan hal-hal di atas secepat dan semandiri mungkin, mengatasi rintangan-rintangan dan mencapai standar yang tinggi, mengungguli orang lain, meningkatkan harga diri dengan menyalurkan bakat secara berasil. - Bekerja mencapai suatu tujuan dengan energi dan daya tahan dan kepastian tujuan. -Menetapkan standar perilaku yang tinggi untuk diri sendiri dan bekerja secara mandiri untuk mencapai standar itu. - Menguasai hambatan atau menguasai situasi, memanipulasi objek atau orang. - Menuntaskan suatu pekerjaan secara prima. - Menjadi ambisius, kompetitif dan penuh aspirasi. Hal-hal di atas dapat menjadi suatu indikator penilaian dengan skala, misalkan skala interval dari yang sangat tinggi =5, tinggi =4, cukup tinggi =3, rendah=2, sangat rendah =1. Dengan demikian akan terbentuk skala Achievement, tentu dengan mengikuti langkah-langkah atau kaidah-kaidah pembuatan skala. Kalau skalanya berjumlah 20 item berarti skor tertinggi yang akan diperoleh subjek penelitian berjumlah 100 dan skor terendah adalah 20. Misalkan ada 50 subjek atau n= 50, yang menjadi subjek penelitan, kemungkinan akan ada distribusi variasi skor dari ke-50 orang tersebut atau hasilnya berbeda-beda. Total skor yang diperoleh 50 subjek penelitian itulah disebut X, sedangkan T adalah mean atau nilai rata-rata dari n=50, contohnya sebagai berikut:
Subjek Aitem1 Item 2 Aitem 3------> dst. Aitem 20 X
1 5 4 5 5 90
2 5 4 3 4 88
3 4 3 5 4 85
Dst.
50 4 3 2 4 40
Jika tes yang sama dikenakan berkali-kali pada ke 50 subjek tadi dan memperoleh mean yang sama, itu berarti skalanya memiliki konsistensi yang tinggi. Itulah asumsi 2 dari teori klasik Ɛ (X) = T, expected value of X, nilai harapan X.
Sedangkan E merupakan penyimpangan skor tampak dari skor harapan teoretik yang terjadi secara random atau terjadi tidak secara sistematik, dalam hal ini dikenal dengan standard deviasi (SD). Faktor yang mengpengaruhi terjadi Error ialah susasana hati, kondisi tubuh, Social Desirability, Bias, Halo Error, Halo Effect, lingkungan dll.
Dalam skala penilaian juga berlaku prinsip yang sama. Misalkan seseorang akan diamati oleh beberapa observer (pengamat) tentang atribut Achievement dalam dirinya dengan menggunakan skala Achievement seperti di atas. Jika observer ada 10 berarti ada jumah 10 hasil penilaiannya, ini adalah X. T -nya rata-rata dari jumlah total 10 penilaian. Sedangkan E adalah simpangan baku.
Menurut Gregory, 1996, dalam Supratiknya, 1998, ada 2 faktor yang mengpengaruhi skor-skor hasil pengukuran yaitu: faktor-faktor penunjang (contribute) konsistensi berupa aneka atribut yang stabil dari si individu (testi), dan faktor yang menunjang inkonsistensi berupa aneka ciri dari si individu, tes atau situasi yang tidak ada kaitannya dengan atribut yang diukur namun berpengrauh pada skor-skor tes.
Asumsi 3: rET = 0, distribusi eror pengukuran E dan skor murni tidak berkorelasi satu sama lain. T tinggi tidak selalu mempunyai E positif atau E negatif. r simbol dari korelasi sampel. Populasi adalah sebagian atau kseluruhan subjek benda mati maupun hidup yang memiliki kualitas atau karakteristik kurang lebih sama. Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil dengan metode tertentu: Probability Sampling atau Nonprobability Sampling.
Asumsi 4: rE1 E2 = 0 , E1 pada pengkuran pertama dan E2 pada pengukuran ke-2 tidak berkorelasi. Artinya nilai eror atau kesalahan pengukuran paa tes pertama tidak mengpengaruhi kesalahan pengkuran pada tes ke-2 yang dilakukan pada sampel yang sama dengan tes yang sama.
Asumsi 5: r E1 T2 =0. Eror skor pada tes pertama E1 tidak berkorelasi dengan skor murni pada tes ke 2. Artinya eror pada E1 tiak disebabkan atau dipengaruhi oleh T2.
Ters Paralel, memiliki nilai T yang setara yaitu T= T, σ² = σ²e atau kedua tes tersebut Memiliki essentially τ-equivalent, T1 =T2 maka berlaku T1 = T2 + C (bilangan constant), walaupun demikian, korelasi skor-skor pada kedua tes paralel tidak harus sama persis.
Yang dimaksud dengan essentially τ-equivalent adalah dua alat tes paralel yang memiliki skor murni setara. Skor murni setara itu berasal dari parameter yang merupakan turunan dari definisi teoretis dan operasional. Untuk penjelasan dapat dipahami melaluli proses atau langkah-langkah pembuatan atau penyusunan alat tes, yaitu : Pertama, penetapan tujuan atau definisi teoretis dari suatu variabel. Kedua: membuat definisi operasional dengan pembatasan kawasan (domain) ukur dengan menetapkan komponen-komponen atau dimensi, aspek-aspek dari definisi operasional. Penjelasan komponen-komponen itu maksudnya untuk membuatnya lebih konkret sehingga dapat diukur dalam bentuk indikator-indikator atau parameter. Hal inilah yang dimaksud sebagai populasi atau parameter τ (tau) dari variabel yang merupakan sumber penulisan aitem atau dapat dikatakan jumlah "populasi" aitem dari suatu variabel.
Aitem-aitem kemudian disusun berdasarkan indikator-indikator atau parameter. Namun aitem-aitem yang akan digunakan hanya yang representasi, yang mewakili (sampling validity, atau Logical Validity) dari aspek-aspek yang diukur pada suatu variabel sebagaimana ditetapkan pada domainnya atau kawasan ukur. Sampel perilaku ini adalah T atau sejumlah aitem yang telah dipilih berdasarkan Sampling Validity, atau Logical Validity. Jadi pengertian simbol τ (tau) dan T memiliki dua arti. Pertama, dalam pengertian penentuan jumlah aitem dimana τ (tau) berarti populasi aitem dari suatu atribut, variabel, dan kedua dalam jumlah subjek yang diteliti yaitu skor murni dari pengukuran suatu populasi 👎. Sedangkan T, pertama berarti sampel dari indikator-indikator atau parameter dari definisi oprasional variabel. Kedua, T merupakan simbol dari sampel perilaku skor dari sekelompok orang 👎 yang diteliti yang dijadikan sebagai sampel.
Dari penjelasan di atas "essentially τ-equivalent" berarti ada dua alat tes yang keduanya bertujuan mengukur satu variabel misalmya atribut Achievement seperti contoh sebelumnya. Dalam alat ukur atau skala tersebut terdapat 20 aitem. Aitem-aitem itu disusun berdarkan indikator-indikator τ (tau) dan Sampling Validity atau Logical Validity (T). Artinya ke-20 aitem itu dipandang mewakili, representasi atau sampel perilaku dari aspek-aspek variabel achievement. Perilaku (populasi) yang berhubungan dengan atribut Achievement jumlahnya bisa ribuan bahkan lebih. Oleh karena itu hanya dipilih aitem-aitem yang dianggap esensial atau mewakili aspek-aspek yang diukur (Sampling Validity). Jadi ada 2 tes berbeda secara bunyi kalimat aitem-aitemnya namun memiliki arti, skomuni yang pada dasarnya sama meskipun jumlah aitemnya tidak selalu sama. Misalnya tes 1 aitem-aitemnya berjumlah 20 dan tes 2 berjumlah 24.
Contoh: salah satu aitem pada tes 1, "saya menyukai pekerjaan yang membutuhkan gagasan baru", pada tes 2 : "Saya meyukai pekerjaan yang memerlukan kreativitas" Pertanyaan bagaimana membuatnya. Aitem-aitem itu biasanya dibuat oleh mahasiswa yang melakukan penelitian atau peneliti, kemudian dikonsultasikan pada minimal 3 orang ahli di bidang tersebut atau Judgements Expert, Psikometris.
Sedangkan pengertian dari T1 = T2 + C. Misalkan ada dua alat tes yang mengukur atribut Self Esteem namun jumlah aitemnya berbeda atau pada jumlah pilihan jawaban pada setiap aitem salah satu tes lebih banyak. Untuk membuat skor murninya setara perlu ada nilai constant yang akan ditambahkan pada salah satu alat tes yang dikerjakan testi, setiap testi mendapat tambahan skor murni. Ciri-ciri dari "essentially τ-equivalent":
1. Dapat memiliki "error variances" berbeda besarannya.
2. Salah satu tes bisa mengukur "true scores" lebih akurat dibandingkan dengan tes lain yang pada dasarnya memiliki skor murni yang setara).
3. Dua tes yang memiliki skor-murni setara tidak harus merupakan paralel tes.
σ dibaca sigma simbol standar deviasi dari populasi, sedangkan untuk sampel simbolnya: s. τ dibaca tau. Berikut simbol-simbol yang digunakan dalam teori skor murni klasik dari Allen & Yen (1979):
Sampel / statistik Populasi / Parameter Arti
T τ (tau) Skor murni
s σ (Sigma) Simpangan baku
r ρ (Rho) Korelasi
n N Jumlah subjek
E Ɛ Skor Harapan
E ƨ Eror pengukuran
Teori Skor Murni Klasik Menurut Besarannya
Asumsi Populasi Sampel
1 x = τ + ƨ. X = T + E
2 Ɛ (X) = τ E (X ) = T
3 ρ ƨ τ = 0 r ET = 0
4 ρ ƨ1 ƨ2 = 0 r E1 E2 = 0
5 ρ ƨ1 τ2 = 0 r E1 T2 = 0
Sumber: untuk penjelasan simbol-simbol
A. Supratiknya. (1998). Psikometri. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Anastasi, A. & Urbina, S.(1998). Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhallindo
Azwar, S. (2012). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gregory, R.J. (1998). Psychological Testing: History, Principles, and Application. Boston: Allyn and Bacon.
Sugiyono (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfa Beta.
Sutrisno Hadi. (2001). Statistik. Jilid 2. Yogyakarta: Andi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permasalahan Anak Usia Sekolah Dasar

Permasalaha Anak Usia Sekolah Dasar Gerakan pembentukan karakter begitu gencar dibicarakan saat ini seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran tentang betapa penting pembentukan karakter. Menurut Stephen R Covey (2004) 90 persen nilai kepemimpinan adalah karakter. Sementara penelitian yang dilakukan di Harvard University menunjukkan 80 %   perilaku seorang pemimpin tergantung pada karakter personal orang tersebut (Warren Benis, dalam Educare Mei 2009). Dalam pembentukkan karakter perlu juga diperhatikan problem atau situasi konkrit yang dialami subjek atau anak didik. Sehingga pembentukan karakter itu bertolak dari permasalah real serta berbasis data. Saat upaya memahami pribadi anak didik kebanyakkan mengunakan teori yang berasal dari dunia barat.   Oleh karena itu, penelitian ini berupaya mengetahui permasalahan yang dialami oleh anak usia sekolah dasar secara kontekstual. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi dalam memahami permasalahan anak usia

Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama

Persepsi Generasi Muda Katolik Terhadap Katekis dan Guru Agama Katolik. Jantje Rasuh Abstrak Generasi muda merupakan tulang punggung Gereja, bangsa dan negara. Eksisnya Gereja akan ditentukan oleh generasi mudanya.   Begitu juga dengan pelayanan pastoral Gereja Katolik yang membutuhkan orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis. Guru agama Katolik berperan penting dalam pewartaan iman Katolik melalui kesaksian hidup, pendidikan dan pengajaran. Kurangnya orang muda untuk menjadi guru agama dan katekis menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi orang muda Katolik terhadap guru agama dan katekis. Penelitian dilakukan pada Sekolah Menengah Atas   Yoanes XXIII Merauke dan SMA Yos Sudarso Merauke. Responden berjumlah 214 orang kelas X sampai XII, terdiri dari 145 siswa SMA Yoanes XXIII dan 69 siswa SMA Yos Sudarso. Pengambilan data dengan metode angket, yaitu angket persepsi terhadap guru agama Katolik dengan nilai reliabilitas Internal

EQUILIBRIUM

EQUILIBRIUM ULAR DAN MERPATI: "Sebab itu, hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Mat 10: 16 Tulisan di atas merupakan bagian dari isi sebuah buku yang berjudul Dipanggil untuk mencinta : Kumpulan Renungan, oleh Anthony de Mello SJ, 1995, Kanisius: Yogyakarta, hal. 54. Tulisan ini dijadikan sebuah Game yang sebenarnya membahas tentang kecerdikan "otak" dan ketulusan.Yang menarik adalah bagaimana menyeimbangkan kedua hal tersebut. Dalam prespektif yang lain namun masih dalam alur logika perbedaan kedua hal tersebut, tulisan ini mencoba membuat keseimbangan (Equilibrium) antara kecerdikan otak yang akan diganti dengan konstruk IQ (Intelligence Quotient ), ketulusan dengan SQ (Spiritual Quotient). Ada berbagai definisi tentang IQ. Berikut definisi tentang IQ dalam tulisan Sunbodo Prabowo dan Th. Dewi Setyorini, tahun 2005. Claparda dan Stern mendefinisikan IQ berupa kemampuan menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi baru atau kondisi